Bukan bermaksud mengungkit-ungkit lagi perubahan nomenklatur IRM menjadi IPM yang (tentu saja) berdampak pada pergerakan Ikatan Pelajar Muhammadiyah secara nasional. Semua pihak saat ini sudah sepakat bahwa pengembalian nama dari IRM menjadi IPM adalah harga pas (bukan harga mati). Tetapi disadari atau tidak, ada kecenderungan lemahnya gerakan di akar rumput; ranting desa!
Dan tahukah, perubahan nomenklatur itu menjadi salah satu pemicu lunturnya ruh gerakan IPM di akar rumput.
Paradigma tak tertulis yang (terlanjur) tertanam dalam benak kader IPM di ranting desa adalah: IPM hanya untuk mereka yang sekolah! Sungguh bertolak belakang dengan tafsir kata “pelajar” oleh PP IPM yang tersurat dalam Anggaran Dasar IPM Pasal 9, “Pelajar adalah kelas sosial yang menuntut ilmu secara terus menerus serta memiliki hak dan kewajiban dalam bidang pendidikan”.
Keyakinan itu kini semakin terpupuk subur seiring dengan tidak adanya keseriusan pimpinan IPM di tingkat elit yang mungkin saat ini tengah disibukkan dengan agenda-agenda elitisnya itu. Boleh digaris bawahi, bubarnya sebagian besar ranting IPM di desa adalah gara-gara kurang perhatian, dan tidak ada pembinaan, serta ada kecenderungan menutup mata.
Pimpinan ranting desa memang memiliki peran strategis dan sakral dalam pergerakan IPM. Rantai kaderisasi IPM sangat jelas; pimpinan pusat memiliki kader dari pimpinan wilayah, begitu seterusnya hingga pimpinan cabang memiliki kader dari pimpinan ranting. Lalu pimpinan ranting desa memiliki kader dari mana? Meng-IPM-kan pelajar yang sebelumnya tidak ber-IPM. Disinilah kesakralan ranting desa.
Berbeda halnya dengan ranting sekolah yang –paling tidak– tetap akan eksis ketika sekolah/madrasahnya masih ada siswa yang sekolah disana dan tentu saja adanya pembinaan dari guru. Tidak dengan ranting desa. Ranting desa benar-benar membutuhkan ruh juang yang murni. Tidak ada paksanaan disana sebagaimana ‘paksaan’ di IPM ranting disekolah. Boleh jadi Ipmawan-Ipmawati di ranting sekolah itu menjadi kader IPM karena 'tuntutan' sekolah, atau guru pembinanya. Sekali lagi, tidak demikian dengan ranting desa.
Bukan ‘Penyakit’ Biasa
Boleh jadi Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah atau Pimpinan Daerah IPM sejak awal hingga saat ini memang menganggap hal ini sebagai ‘penyakit gatal biasa’ yang akan sembuh dengan cukup ditaburi bedak antiseptik, atau hanya digaruk saja. Bukan memandang masalah ini sebagai ‘penyakit kronis stadium akhir’ yang membutuhkan operasi besar-besaran dan melibatkan banyak dokter ahli.
Saat ini pimpinan IPM di tingkat elit memang lebih bangga ketika IPM bisa populer, dikenal oleh khalayak, menasional, bahkan mendunia. Sikap itu memang tidak salah untuk gerakan pelajar besar sekelas IPM. Akan tetapi, bukankah populis itu juga tak kalah penting? Kondisi IPM ranting desa saat ini yang perlahan-lahan menyusut kuantitasnya dan (apa lagi) kualitasnya butuh penanganan serius dengan ‘operasi besar-besaran’.
Para aktivis ranting desa yang kini tengah berdarah-darah mempertahankan kelangsungan tetap adanya dakwah IPM di desa.
Parahnya, ketika perhatian dari para elit IPM tidak ada, pimpinan ranting Muhammadiyah (meskipun tidak semua) juga rapat-rapat menutup mata. Mungkin belum sadar jika IPM adalah salah satu calon penerus mereka. Sebagai ayah, mestinya pembinaan IPM di desa-desa juga menjadi tanggung pimpinan ranting Muhammadiyah tentunya dengan kapasitasnya.
Kini penyakit yang sedang mendera IPM ranting desa telah mengancam ‘jiwa’nya yang boleh jadi tak akan lama lagi umurnya. Nampak wajah pucat pasi yang tak berdaya menerima suratan takdir: IPM ranting desa akan segera mati!
Elit Eksis Karena Akar Rumput Ada
Jangan pernah lupa, Pimpinan IPM yang lebih atas akan mengandalkan suplai kader dari pimpinan di bawahnya. Jadi, pimpinan pusat ada karena pimpinan wilayah, pimpinan wilayah ada karena pimpinan daerah, pimpinan daerah ada karena pimpinan cabang, pimpinan cabang ada karena pimpinan ranting. Lalu, pimpinan ranting ada karena siapa?
Jika susunan vertikal kepemimpinan itu dianalogikan dengan sebuah piramida, maka digunakan analog piramida terbalik. Piramida yang bentuknya dari pangkal hingga ke ujung semakin mengerucut itu kita balik, ujungnya (yang berada di atas) berada di bawah dan pangkalnya (yang berada di bawah) berada di atas.
Jika pimpinan pusat sebagai ujung piramida, maka pimpinan ranting sebagai pangkal piramida. Pimpinan pusat harus memposisikan dirinya di paling bawah dan bukan sebaliknya, di paling atas. Mengapa? Karena kalau diurai, pimpinan pusat bisa eksis dengan segala keelitannya karena pimpinan ranting juga aktif gerakannya.
Lalu, apa lagi yang bisa membuat pimpinan-pimpinan IPM di tingkat elit jemawa dengan keelitannya jika ranting desa sudah mulai memiliki tanda-tanda kepunahan?
Perombakan Gerakan
Hemat penulis, jalan satu-satunya saat ini untuk menghindari kenyataan bahwa ranting desa akan segera mati adalah: rombak gerakan IPM. Mungkin akan lebih baik jika IPM beruswah pada gerakan Muhammadiyah yang dicetuskan pada Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005 silam. Yakni Revitalisasi Cabang dan Ranting.
Penggairahan kembali pimpinan di akar rumput disadari atau tidak menjadi jalan keluar terakhir bagi pergerakan IPM. Perlu diingat, sesungguhnya dalam strategic planing (rencana strategis) IPM 2010-2016 telah dirumuskan program yang cantik. Salah satunya adalah dalam agenda aksi IPM. Disana dijelaskan secara runtut model dan coral gerakan IPM mulai dari Pengajian Islam Rutin (PIR) hingga Gerakan Iqra’. Sayangnya, berbagai agenda aksi yang cantik itu nihil dalam hal praktek lapangan.
Maka, nampaknya operasi besar-besaran dengan melibatkan banyak dokter ahli itu perlu segera dilakukan. Yakni dengan digulirkan isu nasional IPM: Revitalisasi Cabang dan Ranting. Atau punah sudah anak panah Muhammadiyah yang bernama Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
dikutip dari
http://www.fendi-fradana.co.cc/2011/06/ranting-desa-ujung-tombak-yang-kian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar